Jumat, Agustus 10, 2007

Selasa, Juli 17, 2007

Bersatu Tegakkan Hak Rakyat

Berjuang Tanpa Batasan Waktu

Terimakasih atas peran sertanya ikut menyumbangkan tulisan perlawanan atau komentar perjuangan.
Sampaikan melalui email : fpphr.indonesia@gmail.com atau fpphr@yahoo.co.id

Dampak Negatif Modernisasi Hukum di Suatu Negara

Marginalisasi Sebuah Kaum

Hukum merupakan sesuatu hal yang akan selalu bergerak secara dinamis mengikuti dinamika dari perjalanan suatu zaman. Hukum tidak akan statis, ia akan selalu bergerak sesuai dengan kehidupan. Hal ini disebabkan bahwa hukum merupakan sebuah aturan atau pedoman hidup tingkah laku manusia.

Dengan demikian tidak menutup kemungkinan akan terdapat nilai-nilai baru yang mempengaruhi dari kehidupan umat manusia. Dan disanalah celah dari hukum untuk menjadi pedoman bagi manusia. Seperti yang disebutkan oleh Roscoe Pound bahwa law is a tool social engineering (hukum dapat dijadikan sebagai alat untuk mengubah kehidupan sosial tertentu).

Dewasa ini, kata modernisasi adalah satu kata yang tidak dapat dihindarkan oleh kita. Pengaruhnya sangat kuat dalam mempengaruhi tatanan kehidupan di umat manusia. Tidak melihat apakah ia berasal satu Negara maju atau masih berkembang, tetap semuanya terpengaruh oleh adanya modernisasi.

Begitupun hukum yang berlaku di Negara tersebut yang ikut terpengaruh oleh adanya modernisasi. Ini sesuai seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa hukum merupakan sesuatu hal yang selalu bergerak secara dinamis mengikuti perjalanan suatu zaman. Sehingga modernisasi sangat mempengaruhi dari hukum positif di Negara tertentu.

Dan pengaruh modernisasi dalam kehidupan memang sangat besar, namun tidak sedikit menimbulkan dampak yang negatif, seperti : salah satunya makin terpinggirkan atau termarginalisasikan sebuah kaum. Fenomena inilah yang menarik untuk ditelaah oleh kita bersama bahwa sejauh mana modernisasi hukum di suatu Negara mempengaruhi terjadinya marginalisasi sebuah kaum ?.

Sebuah Fenomena Ataukah … ?

Fenomena yang ditimbulkan akibat adanya modernisasi hukum di suatu Negara, memang menimbulkan banyak masalah. Seperti adanya pen_marginalisasikan sebuah kaum akibat terdapat modernisasi hukum. Memang hal itu tidak dipersalahkan mengingat bahwa hukum sebagai pencerminan serta sarana untuk mencapai dasar untuk menyatakan serta pencapaian kepentingan masyarakat yang harus dilindungi terlepas sifat tata politik yang berlaku. Namun apakah itu menjadi sebuah kewajaran untuk mengorbankan sesuatu demi sebuah modernisasi.

Hukum merupakan satu hal yang diciptakan oleh kelompok tertentu demi kepentingan tertentu pula. Dari pengertian itu dapat ditemukan bahwa hukum merupakan satu yang diciptakan oleh penguasa dan disinilah rentang dengan kepentingan, mengingat bahwa hukum itu diciptakan demi kepentingan tertentu. Timbul pertanyaan, untuk kepentingan apa hukum itu dibentuk ?

Bila hukum itu dibentuk berdasarkan filosofis, substansi hukumnya mencerminkan kehendak rakyat dan nilai-nilai keadilan yang berkembang dimasyarakat (volonte generale) maka menjadi tepat dan baik. Namun celakanya bila hukum itu dibentuk hanya didasarkan dari pencerminanan penguasa yang absolute dan korup, maka dapat dijumpai hukum yang sewenang-wenang.

Hubungan dengan modernisasi adalah penguasa cenderung mengikuti arus yang terdapat dalam arus modernisasi melalui globalisasinya tersebut. Dengan demikian sering kita jumpai bahwa relatif penguasa mengikuti kepentingan modal atau arus modernisasi itu. Ketika kepentingan yang tidak didasarkan kepentingan umum mempengaruhi dalam pembentukan sebuah hukum, maka hukum itu sangat dirasakan tidak adil oleh sebagian besar rakyat.

Seperti yang dialami oleh Jepang pada tahun-tahun modernisasi, hasil pajak tanah merupakan bagian terbesar dari sektor pajak, yang bagi pemerintah Jepang merupakan biaya untuk usaha modernisasi. Tetapi petani Jepang harus memikul beban yang berat untuk modernisasi yang dipaksakan itu. Reaksi dan perlawanan petani Jepang dalam menunjukkan tingkat resistensi mereka terhadap peraturan tentang pajak tanah tersebut adalah dengan terjadinya pemberontakan petani dalam kurun waktu 1868-1912 telah terjadi 210 kali pemberontakan.

Dewasa ini sering kita jumpai adanya penggusuran pedagang kaki lima, ataupun masyarakat-masyarakat yang berdasarkan hukum tidak mempunyai hak untuk menempati sebuah lahan merupakan satu fenomena yang sering kita saksikan saat ini. Masalah yang muncul bukan sekedar apakah itu berkenaan dengan tata ruang kota di sebuah daerah atau bukan, akan tetapi masalah itu makin menjadi kompleks, ketika masalah itu berkenaan dengan pemenuhan kehidupan sehari-hari.

Terjadi resistensi yang dilakukan oleh pedagang kaki lima, masyarakat-masyarakat yang berdasarkan hukum tidak berhak menduduki tanah terhadap kebijakan penertiban yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah merupakan satu hal yang tidak terbantahkan terjadi di Indonesia. Menarik untuk ditelaah dari persoalan itu, yakni Negara tidak dapat memberikan rasa keadilan bagi rakyat banyak. Cenderung Negara memberikan keuntungan bagi segelintiran oknum-oknum tertentu.

Bila Negara menganggap bahwa mereka tidak patut untuk menempati lahan-lahan itu seharusnya Negara memberikan solusi agar mereka tidak menjadi seorang penggangguran, bukan sebaliknya membuat sebuah kebijakan hingga membuat mereka ke dalam keadaan yang makin memprihatinkan. Tindakan yang dilakukan oleh Negara terhadap mereka dapat dikatakan sebagai hukum, mengingat bahwa hukum akan dapat berjalan efektif bila terdapat pemaksa.

Ketika peran Negara semakin dominan, maka kehadiran hukum tidak lagi dirasakan untuk melindungi warga Negara terhadap pemerintah, dan yang lemah serta yang miskin terhadap yang kuat dan kaya. Sehingga dalam memberikan perlindungan kepada warga negaranya, Negara tidak lagi melihat pertimbangan dari segi pandangan orang miskin dan lemah, melainkan hanya melihat dari satu sudut pandang pemerintah serta dari yang berkuasa dan yang kaya.

Pada tataran ini warga Negara atau orang miskin atau orang lemah akan selalu menjadi kambing hitam terhadap tidak berfungsinya hukum. Karena hukum hanya dijadikan alat untuk kepentingan tertentu dengan mengorbankan kepentingan rakyat lainnya. Celakannya rakyat yang tergolong miskin dan lemah, jumlahnya sangatlah besar dibandingkan orang yang berkuasa dan kaya.

Dengan demikian akan terjadilah proses marginalisasi terhadap warga Negara itu, dan proses itu akan berjalan dengan mulus bila proses kambing hitam itu benar-benar berjalan dengan efektif. Di sinilah maka akan diberikan streotip bagi mereka yang melakukan perlawanan terhadap upaya yang dilakukan terhadap mereka. Dan itu sengaja diberikan untuk mengurangi resistensi yang terjadi berkenaan dengan tindakan yang dilakukan oleh penguasa.

Marginalisasi Sebuah Kaum

Modernisasi merupakan satu tahapan dalam kehidupan manusia yang mencoba untuk hidup modern. Perubahan yang dilakukan dalam kerangka untuk memperbaiki kehidupan umat manusia menjadi lebih baik. Namun keinginan yang sangat besar itu bila tidak dapat dikendalikan akan memunculkan banyak masalah, bahkan penderitaan terutama bagi golongan-golongan di masyarakat yang secara aset dan akses sulit untuk menjamahnya.

Sepertinya yang diperingatkan oleh Hobbes tentang Leviathan, yakni manusia menjadi serigala memakan manusia lainnya. Dalam kerangka sekarang, maka persoalan manusia menjadi pemangsa manusia lain dapat dilihat dari keterbatasan aset dan akses yang merupakan penyebab akan terjadi perilaku tersebut. Keterbatasan / kelangkaan aset dan akses membuat manusia saling “ sikut-menyikut, injak-mengijak, jatuh- menjatuhkan ” untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Proses dalam pembentukan marginalisasi terhadap orang miskin banyak dipengaruhi/disebabkan adanya :

  1. kepentingan pemodal;
  2. kepentingan penguasa;
  3. koraborasi dari kedua kepentingan diatas.

Dari hal-hal yang disebutkan diatas, maka penulis memberikan solusi agar modernisasi tidak menimbulkan marginalisasi terhadap sebuah kaum.


Penulis : Nazarudin SH, Komandan Densus 86, Anti Tekor


Na

Refroma Agraria, Kebutuhan Pengentasan Kemiskinan

Perjalanan reforma agraria yang digagas pertama kali oleh Presiden Soekarno kini telah menapaki babak baru. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pernyatannya resminya menyatakan akan memulai pelaksanaan reforma agraria tahun 2007. Program reforma agraria yang dimaksud adalah pendistribusian tanah secara bertahap untuk rakyat.

Dialokasikan tanah bagi rakyat termiskin dari hutan konvesi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan di Indonesia boleh diperuntukan bagi kepentingan rakyat. Presiden menyebutnya sebagai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat (red. Kompas, 12/2/2007). Pernyataan itu juga diamini Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto yang akan mengalokasikan 8,15 juta hektar tanah untuk diredistribusi.

Bagi sebagian orang masih banyak yang alergi dengan sebutan reforma agraria. Titik tolak alerginya lantaran kepentingan komersilnya terusik untuk menguasai tanah. Siapa lagi yang terganggu kepentingannya kalau bukan pengusaha yang berpatron dengan pejabat daerah. Begitupun kalangan pengusaha, tanah bisa menjadi nilai tambah ekonomis merenggut keuntungan melalui pembangunan industri, mall, perumahan dan sebagainya. Sementara penguasa daerah pasti akan berdalih mengundang investasi dalam rangka otonomi daerah.

Masalah Agraria
Masalah utama pertanahan adalah berkembangnya nilai komoditas tanah sehingga menjadi rebutan banyak orang mengejar keuntungan ekonomi. Peruntukan tanah untuk rakyat kecil pun pupus digregoti kelompok kapitalistik. Perbedaan kepentingan tak terelakan dan bertabrakan antara rakyat yang menganggap tanah sebagai sumber pokok kehidupan dengan investor atau pemilik modal.

Fenomena tarik menarik kebutuhan tanah ini hampir rata-rata dimenangkan pemilik modal lantaran diuntungkan kebijakan ekonomi yang lebih condong pada pertumbuhan ketimbang pemerataan ekonomi. Atas nama pembangunan, tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat seringkali diambil alih para pemodal. Dengan demikian, muncul sumber konflik baru, yaitu antara para petani kecil dengan para pemodal besar, yang bukan hanya didukung oleh perangkat hukum, tetapi juga aparat keamanan.

Sebatas diketahui, dibeberapa negara seperti Amerika, Jepang, Spanyol, Jepang, bahkan Filiphina, reforma agraria diyakini telah sebagai obat pengentasan kemiskinan. Melalui pendistribusian sebidang tanah, pemerintah setempat telah mampu memberikan lapangan pekerjaan dan nyawa bagi petani. Andai di Indonesia sedari dulu juga diberlakukan reforma agraria, dipastikan petani kita tidak akan menjadi buruh tani dan masyarakat kita tidak akan terbebani mahalnya harga beras.

Fakta yang terjadi di negara kita, banyak lahan tidur cenderung dimanfaatkan untuk kepentingan golongan yang berduit yang bermitra dengan pemerintah daerah, bahkan juga kebutuhan militer seperti yang terjadi dengan pembangunan Water Training di Parung oleh Lanud Atang Sandjaya. Ironisnya, kepentingan rakyat kecil pun terpaksa harus dikalahkan dan dikorbankan. Sejauh ini seolah-olah tidak ada rujukan hukum atau pembelaan pada rakyat yang digusur dari tanahnya sendiri. Sebut saja permisalannya di Bogor, seperti pembangunan pemukiman atau lapangan golf Rancamaya, Cimacan, Tegal Sapi atau Warungloa di Bogor.

Mengutip pendapat Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, pakar hukum UGM, Yogyakarta, pelaksanaan reforma agraria merujuk Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) memang kerap kali dihadang oleh kekuasaan. Undang-undang yang sebenarnya difungsikan untuk kesejahteraan masyarakat, justru sering dikalahkan oleh keputusan-keputusan presiden (Keppres), yang secara hukum berada dalam posisi yang lebih rendah. Pernyataannya itu dipertegas dengan memberi contoh adanya Keppres proyek pembebasan lahan di Jonggol, Bogor, Jawa Barat, yang sebenarnya melanggar aturan Undang-undang yang berada di atasnya.

Masalah secara umum terdapat lima masalah di bidang pertanahan yang sering mencuat ke permukaan. Masing-masing diantaranya adalah fungsi sosial tanah, batas maksimum pemilikan tanah, pemilikan tanah guntai, monopoli pemilikan tanah, dan penetapan ganti rugi tanah. Kelimanya seringkali memicu munculnya konflik pertanahan. Masalah demi masalah semakin terdeposito lantaran aktivitas pembangunan yang berimbas terlupakannya unsur keadilan di bidang pertanahan.

Penerapan pasal 6 UUPA tentang fungsi sosial tanah, misalnya, masih sering bias dalam praktek di lapangan. Menurut butir II.4 penjelasan umum UUPA, fungsi sosial tanah berarti hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang, tidak dapat dibenarkan tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugi-kan masyarakat. Sementara itu, penerapan pasal 7 UUPA tentang batas maksimum pemilikan tanah, dalam kenyataannya juga sering dilanggar.

Beragam persoalan konflik tanah selama ini bisa disimpulkan telah terjadi penumpukan pemilikan tanah. Tumpulnya pendistribusian pemilikan tanah justru malah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Buntutnya, petani pun terpaksa memikul beban dan beralih menjadi buruh tani.

Sejarah Reforma Agraria
Perjalanan reforma agraria di Indonesia bemula saat pendudukan Belanda. Pada saat itu diberlakukan hukum agraria yang dikenal sebagai Agrarische Wet pada tahun 1870. Hukum ini mengatur jangka waktu penggunaan tanah oleh pihak-pihak pemakai. Hukum Agraria pada saat itu tetap lebih menguntungkan penjajah. Aturan yang mengatur jangka waktu yang cukup panjang bagi pengusahaan lahan bertujuan untuk upaya menarik lebih banyak lagi penanam modal asing ke wilayah Hindia Belanda.

Pasca Indonesia merdeka, hukum Agraria warisan Belanda ini kemudian diadopsi penuh sebagai rujukan hukum di bidang pertanahan. Namun, bertolak demi memperjuangkan pengentasan kemiskinan pada masa itu tahun 1960, Presiden Soekarno melalui Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Singkatnya, riwayat pembaruan agraria mulai dirajut efektif. Pertengahan tahun 1960 land reform dipraktikkan. Saat itu land reform bertujuan menumpas ketimpangan penguasaan tanah sisa feodalisme dan kolonialisme. Masa keemasan raja-raja pribumi dan penjajah asing pra-Indonesia dalam penguasaan tanah-air di Nusantara coba dikikis. Tanah-tanah yang kepemilikannya melewati batas maksimum dan dikuasai di luar ketentuan Undang- Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) dijadikan objek land reform.

Namun gagasan land reform yang diberi label oleh Bung Karno sebagai "bagian mutlak revolusi kita" ternyata ternoda konflik vertikal dan horizontal. Kericuhan sosial dipengaruhi polarisasi ideologis-politis massa rakyat yang terkotak-kotak bingkai ideologi dan partisan. Pada era Bung Karno, land reform yang baru dimulai terhenti akibat pergantian rezim. Kolaborasi kepentingan elite dalam negeri dengan kekuatan asing anti-reform mengganjal land reform. Jika Soekarno menganut politik agraria pro-rakyat kecil, Soeharto pro-modal besar, demikian bila mengutip pernyataan Sekjen KPA, Usep Setiawan.

Kini, tinggal kita nanti kesungguhan janji politik SBY tentang pelaksanaan reforma agraria. Kita berharap SBY berani menindak tegas bawahannya di jajaran pemerintah hingga pemerintah daerah yang terindikasi menentang reforma agraria. Selaku rakyat, kita juga berharap janji refoma agraria itu tidak malah memberi keleluasaan bagi pengusaha tapi harus menjadi wujud pengentasan kemiskinan bagi rakyat.

Tidak ada salahnya juga dibentuk lembaga reforma agraria independen yang terdiri dari praktisi hukum, aparat kemanan, akademisi dan serikat petani untuk mengawasi efektifitas pelaksanaan reforma agraria yang berkedudukan dibawah presiden. Paling tidak dengan demikian rakyat akan memiliki jaminan kesungguhan realisasi reforma agraria.


Konsultasi Supranatural

Konsultasi Supranatural
Asuhan : Ki Eyang Sado Tahu Brontak
Eyang menerima konsultasi gratis perjodohan, pesugihan hingga memperbesar alat vital (hasil bisa dibuktikan bersaing dengan Mak Erot). Tertarik? Hubungi Eyang Sado HP 0856-97977322. Yang minta imbalan minta dikawinin juga boleh.


Jodoh bisa diatur. Karena itu, jangan takut belum dapat jodoh. Melalui kolom ini Eyang ingin membagi pengalaman dan petuah bagaimana gampang mendapat jodoh bertampang pas-pasan, postur tubuh rata (kayak si itu..tuh..) dan berekonomi kembang kempis. Ingin tahu caranya? Simak petunjuk gaib yang Eyang terima dari pertapaan dibawah Jembatan Merah.

Sebelum berpergian ke luar rumah biasakan mengantongi celana dalam yang belum dicuci dan pernah dipakai sebelumnya. Saat ketemu wanita berusia diatas 50 tahun, beri dia senyuman. Seterusnya, mulailah berkenalan. Kemudian tanyakan padanya apakah dia bersedia mencuci baju dan celana kotor Anda. Bila dia menyanggupi maka dialah jodoh Anda. Selain itu bisa ditebak wanita itu berprofesi sebagai tukang cuci. Biar lebih meyakinkan lagi cobalah resep berikut dengan mulai mengenal wanita tua disekitar rumahmu terlebih dahulu lalu.Yakinlah berkat celana dalam Anda itu tidak bakal ditolak.

Biasakan saat bertemu wanita yang belum dikenal, Anda colek pantatnya. Agar tidak ditampar saat ingin berkenalan lanjutkan dengan tertawa terbahak-bahak sekitar 1 jam lamanya. Bila Anda beruntung, wanita tersebut akan menuding Anda orang gila. Nah, bila sudah digelari begitu artinya Anda berpeluang meneruskan mencolek lagi bagian tubuh sensitif lainnya. Tapi ingat, teruslah tertawa sembari mata meleotot dan menggaruk kepala.

Bila Anda kurang Pe De tidak pernah dikejar-kejar cewek cantik untuk dijadikan pacar tidak perlu risau. Caranya gampang. Upayakan incar wanita yang disukai. Kemudian cari kesempatan jambret tas, dompet atau kalungnya. Niscaya Anda akan dikejar-kejar wanita tersebut.

Andai Anda merasa bertubuh bekek jangan khawatir. Berkenalanlah dengan wanita melalui jendela yang memiliki ketinggian 2 meter. Usahakan hanya wajah dan dada Anda yang terlihat. Dengan demikian pasti si wanita akan mengira Anda bertubuh jangkung. Padahal dibalik itu Anda sedang ditopang kursi sebagai bahan injakan.

Masih juga belum mendapat jodoh? Pergilah dalam keadaan telanjang bulat ke kandang kambing. Bagi Anda yang beruntung bewajah kambing pasti akan mudah berjodoh dengan kambing wanita.

Bila masih belum puas jangan ragu kirim email atau isi kolom komentar yang tersedia. Ingat tujukan ke Eyang Sado. Bagi yang dimuat di situs ini Eyang akan memberi kenang-kenangan kaos oblong atau celana dalam bolong bergambar Eyang. Salam....!!!


Lahir dari Perut Perjuangan Rakyat

Ramalan Francis Fukuyama terbukti tak benar. Dunia pada akhirnya tak berjalan seperti yang diramalkannya. Ketika Tembok Berlin runtuh 9 November 1989, Fukuyama, meramalkan dunia akan memasuki fase “akhir sejarah” [the end of history]. Maksudnya terjadilah kemenangan kapitalisme [neoliberal] dan demokrasi [liberal].

Apa yang diprediksi “akhir sejarah” oleh Fukuyama bukan berarti dunia kehilangan peristiwa besar dan penting, melainkan bahwa sejarah berjalan secara tunggal, koheren, dan evolusioner. Bagi Fukuyama, masyarakat liberal demokratis yang didasarkan atas kapitalisme pasar-bebas, pada akhirnya akan mampu memenuhi kebutuhan manusia dalam hal stabilitas ekonomi, penghargaan terhadap diri sendiri, dan kehormatan.

Gelombang Perlawanan terhadap Globalisasi NeoliberalSerangan pertama yang mematahkan tesis Fukuyama datang dari hutan raya Lacandona, di Chiapas, negara bagian yang paling tenggara Meksiko. Bukan oleh kaum akademisi dan intelektual, melainkan oleh sekelompok masyarakat adat dan petani bersenjata, yang menutupi mukanya dengan balaklava, dan yang menamakan diri dan pergerakannya sebagai Tentara Pembebasan Nasional Zapatista atau EZLN [Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional] pada 1 Januari 1994. Dipimpin oleh Subcomandante Marcos, gerakan yang ‘hanya’ berintikan 3.000 orang bertopeng hitam, dan kebanyakan berasal dari suku Indian Maya ini, menyerbu pusat kota San Cristobal de la Casas, dan mengumumkan Deklarasi Perangnya sebagai perlawanan terhadap diberlakukannya pakta pasar bebas, yaitu tergabungnya Meksiko di NAFTA.

Bagi petani dan masyarakat adat ini, NAFTA adalah lonceng kematian. Meskipun tinggal di sebuah negeri yang kaya sumberdaya alamnya, masyarakat adat Indian dan petani, terus mengalami ketidakadilan dan ketimpangan yang tajam.
Setelah ‘meninggalkan’ fase perjuangan militer, EZLN lalu mengganti pola perjuangannya dengan senjata lain yang tak kalah mematikan: kata-kata. Jadi, kata menggantikan senjata. “Kata adalah senjata”. Sejak saat itulah, Subcomandante Marcos menggebrak dunia politik lewat kata-katanya yang tajam, dan prosa-prosa yang mengagumkan.

Tulisan-tulisannya ‘membakar’ dan ‘menghasut’ pembacanya agar memahami cengkeraman dan jeratan neoliberalisme di Meksiko. Tak hanya bernada agitasi dan provokasi, tulisan Marcos juga menggabungkan antara kemahiran sastra tingkat tinggi dengan analisa ekonomi-politik yang tajam.
Salah satu hal yang paling subtansial, yang menantang langsung pendirian Fukuyama, adalah bahwa Zapatista mengangankan visi altermundialista, yaitu dunia lain di luar globalisasi neoliberal. Sebuah dunia yang dipandu atas penghargaan terhadap demokrasi, kebebasan dan keadilan rakyat yang sejati. Bukan demokrasi, kebebasan, dan keadilan rakyat yang berada dalam definisi dan cangkang
kekuasaan kapitalisme.

Bahkan, lebih lugas, Zapatista menyebut visinya berdasar pada nilai-nilai sosialisme yang telah lama hidup dan tumbuh di kalangan masyarakat Indian Maya. Setelah gelombang pertama agak surut, ketidakpercayaan terhadap kapitalisme pasar bebas, lahir dari Brazil, negeri para pesepakbola. Disokong oleh Partido Trabahaldores (Partai Buruh Brazil), sejak Oktober 2002, Lula da Silva tampil menjadi Presiden Brazil menggantikan Fernando Cardoso, seorang pakar teori ketergantungan yang lalu ‘murtad’ dan beralih keyakinan pada prinsip-prinsip neoliberal.

Lula mulanya adalah juga ketua PT tersebut. PT menjadi sebuah partai besar karena berhasil mengakomodasi gerakan buruh, petani, intelektual kota, dan bahkan kalangan rohaniawan. Tetapi, dukungan terhadap PT yang paling kuat dan radikal datang dari MST [Movimento dos Trabahaldores Rurais Sem Terra] atau Gerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah. Didirikan pada tahun 1984, MST merupakan organisasi kalangan pekerja dan buruh tani yang paling aktif berjuang untuk reforma agraria, redistribusi tanah dan pertanian rakyat.

Gerakan ini, pada dasarnya muncul sebagai hasil dari distribusi tanah yang sangat timpang, yang merupakan warisan dari kolonialisme bangsa Portugis. MST tampil menjadi sebuah gerakan yang kuat dengan partisipasi rakyat yang sedemikian tinggi dan terus meningkat. Ketika partsipasi rakyat makin meninggi, dan tuntutan akan perubahan sosial-politik dalam skala yag luas diperlukan, maka MST mulai menjalin koalisi dengan PT yang kelak mengantarkan Lula da Silva ke kursi kekuasaan.

Ringkasnya, kemenangan Lula dan menguatnya kepercayaan politik rakyat Brazil pada MST dan PT, secara bagus dilukiskan oleh Wendi Wolford, sebagai kemenangan gerakan sosial yang sedang “berjuang untuk mewujudkan komunitas yang didambakan” [imagined community]. Tampilnya Lula da Silva sebenarnya didahului oleh naiknya Hugo Chavez, pada pemilu Venezuela tahun 1998.

Awalnya, Chavez mencoba melakukan sebuah kudeta yang gagal di tahun 1992. Namun kegagalan itu, meski ia lalu merasakan lantai dingin penjara, membuatnya meraih popularitas dari kalangan kaum miskin di seantero Venezuela. Kudeta itu merupakan kegeraman Chavez dan kawan-kawannya, atas kebijakan-kebijakan neoliberal Presiden Carlos Andres Peres yang menaikkan harga BBM, dan membuat rakyat di negeri yang kaya minyak itu tenggelam dalam kemiskinan absolut, bahkan kematian massal.

Dari balik jeruji penjara, Chavez mendirikan Gerakan Republik Kelima, yang juga merupakan persatuan front dari berbagai gerakan sosial di Venezuela. Setelah berhasil meraih kekuasaan lewat pemilu, Chavez menggeret politik Venezuela ke arah yang lebih kiri dan populistik. Gagasan pembaharuan dan perubahan sosialnya diberi nama Revolusi Bolivarian, dan diorganisir oleh Lingkaran Bolivarian, yang diancangkan sebagai alternatif untuk mengganti kapitalisme pasar bebas.

Daripada bergabung dengan FTAA, misalnya, ia malah mendirikan ALBA [Alternatif Bolivarian untuk Rakyat America Latin] yang berdasar pada prinsip-prinsip keadilan rakyat. Tetapi, apa yang paling menentukan adalah upayanya untuk memperkuat posisi perusahaan minyak (PDVSA) milik negara dan meningkatkan daya tawarnya dengan meminta kenaikan royalti yang besar pada sejumlah perusahaan swasta. Tindakan ini, tak ayal, membuat Chavez memiliki kekayaan yang berlimpah dari hasil minyak yang dipakainya untuk membiayai berbagai kebijakan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan gratis bagi penduduk yang paling miskin.

Tak hanya itu, sebuah program reforma agraria yang meredistribusi tanah bagi kaum miskin juga dilakukan (sebagaimana Brazil, sebagian besar tanah di Venezuela juga dimiliki oleh segelintir oligarkh). Chavez kini menggembar-gemborkan gagasannya dengan sebutan sosialisme abad 21.
Nama lain yang muncul setelah Chavez adalah Evo Morales, nama lengkapnya Juan vo Morales Ayma, seorang suku Indian pertama yang menduduki kursi kepresidenan di Bolivia. Sebagaimana Chavez dan Lula, Evo Morales juga lahir dari rahim pergerakan rakyat. Partainya, MAS (Gerakan Menuju Sosialisme), merupakan sebuah partai front dan aliansi yang longgar dari berbagai gerakan sosial di Bolivia yang memiliki platform lebar dari penghapusan kebijakan neoliberal; partisipasi politik bangsa-bangsa pribumi yang lebih besar dalam politik nasional; nasionalisasi industri migas; legalisasi penanaman daun koka; serta pembagian yang adil terhadap sumber daya alam nasional.

Menariknya, Evo Morales sendiri bukan aktivis kacangan, ia pernah menjadi anggota gerilyawan bersenjata Tupac Katari, yang kelak membuatnya mendekam di penjara selama lima tahun. Setelah pemenjaraan itu, Morales tampil sebagai pembela hak-hak kaum pribumi yang paling kukuh, juga menjadi ‘penyerang’ garis depan dalam menentang kebijakan neoliberal di Bolivia. Seperi halnya Chavez, usai meraih kursi kekuasaan Evo Morales memotong gajinya dan pejabat publik lainnya, untuk diberikan kepada rakyat.

Tak hanya itu, gebrakan besar Morales adalah menasionalisasi ladang gas alamnya. Ia juga menaikkan royalti gas alamnya menjadi lebih dari 50%, yang lantas digunakannya untuk pelbagai kebijakan-kebijakan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan gratis. Selain itu, untuk mempertahankan kehidupan para petani Indian yang menanam koka, ia kembali melegalisasikan penanaman koka yang sebelumnya dilarang oleh AS. Ada dua alasan kenapa pemerintah AS melarang penanaman koka: pertama, sebagai tindakan proteksi bagi perusahaan transnasional AS, Coca Cola, yang juga menggunakan daun koka. Kedua, sebagai upaya penolakan terhadap program USAID yang berencana menggantikan tanaman koka milik petani Indian di pegunungan Andes dengan tanaman kacang macademia dan lada.

Hal lain yang membuat Evo Morales juga termasuk dalam klan “Presiden Radikal” adalah usahanya untuk melakukan land reform yang radikal. Segera setelahnya, beberapa kenaikan Presiden yang berideologi kiri menjadi fenomena umum di sejumlah negara Amerika Latin. Di Chili misalnya, Michel Bachelet seorang presiden dari aliansi partai sosialis dan kiri-tengah, kini berkuasa di negeri yang pernah dipimpin oleh diktator ‘murid’ Soeharto itu: Augusto Pinochet.

Di Nikaragua, pemimpin gerilyawan Sandinista yang berhaluan kiri, Daniel Ortega juga tampil di kursi kekuasaan setelah sejak tahun 1990-an terus-menerus mengalami kekalahan oleh kandidat partai pro neoliberal. Nama yang lain adalah Ollanta Humala dari Peru, yang merupakan pemberontak yang melawan rezim neoliberal Peru, Alberto Fujimori. Humala juga merupakan karib dan bersahabat dekat dengan Hugo Chavez.
Jika kita tambahkan dua nama lagi: Fidel Castro dari Kuba dan Mahmoud Ahmadinejad dari Iran, maka tampaklah bahwa tesis akhir-sejarah Fukuyama telah gugur.

Fidel Castro bukan hanya lahir karena pergerakan rakyat, bersama Che Guevara, ia memimpin sebuah revolusi rakyat yang menggulingkan diktator militer Batista. El-Comandante Castro malah sejak dulu tetap mengukuhi sosialisme sebagai jalan hidup di negerinya. Meski mendapat embargo ekonomi dari AS, dan beberapa kali diancam pembunuhan, rakyat Kuba tetap mengagumi dan membelanya. Di tangan Castro, Kuba menjelma menjadi negara yang begitu memperhatikan hak-hak dasar rakyatnya.

Di bidang pendidikan, misalnya, angka melek huruf merupakan yang terendah di dunia. Di negeri cerutu itu, segala level pendidikan, termasuk universitas, digratiskan. Tak sebagaimana di negeri ini, dimana pendidikan hanya menjadi sarana mobilisasi vertikal, di Kuba pendidikan bermakna horisontal yakni dengan bertujuan memupuk dan mengembangkan solidaritas antar sesama, penghargaan terhadap alam-lingkungan dan kemandirian.

Hal ini diatur oleh sebuah sistem yang membuat para guru-murid-orang tua murid untuk tidak saja senantiasa berkomunikasi secara personal, tetapi juga bertanggung jawab terhadap pendidikan, dan bahkan terhadap segala permasalahan yang muncul di lingkungan sekitarnya. Bahkan hingga hari ini, terdapat sebuah program pendidikan dengan slogan yang cukup menarik “A Nation Becomes University”—dimana negara beserta lembaga pendidikan tinggi beserta para profesor dan sejumlah guru besarnya mengadakan pengajaran pendidikan tinggi via televisi. Jadi jangan heran, kalau kelak orang Kuba berstatus sarjana semua!!. Jangan heran pula, kalau televisi di Kuba mengajarkan sejarah filsafat atau ilmu sosial dengan dipandu oleh seorang profesor!

Di bidang kesehatan, Kuba juga menorehkan prestasi yang cemerlang. Jumlah tenaga dokter di Kuba merupakan yang terbanyak dari negara manapun di dunia. Hingga kini, Kuba menawarkan beasiswa pendidikan kesehatan yang gratis kepada negara-negara miskin. Tak hanya berorientasi pemupukan kekayaan, program pendidikan kesehatan di Kuba juga menekankan pemahaman tentang ilmu-ilmu sosial-humaniora dan misi pelayanan terhadap kemanusiaan.
Sedangkan Presiden Iran, Ahmadinejad juga lahir dari rahim pergerakan rakyat.

Ia menjadi pengikut setia Ayatullah Khameini yang berusaha menggulingkan pemerintahan Syah yang kapitalistik dan feodalistik. Dengan berpola hidup yang sangat sederhana, Ahmadinejad tak hanya selalu merupakan oposisi terkemuka terhadap imperialisme Amerika Serikat, tetapi juga melakukan program-program sosial seperti pendidikan gratis dan perumahan untuk rakyat miskin. Dengan nilai-nilai Islam (syi’ah) yang berwatak populistik, Ahmadinejad tampil melawan ketidakadilan yang diciptakan oleh pasar bebas dan empire Amerika Serikat.

Tampaklah kini, tak semua orang di segenap penjuru dunia hidup nyaman di bawah kapitalisme neoliberal! Selain menggugurkan tesis Fukuyama, berbagai fenomena di atas, setidaknya menunjukkan beberapa pelajaran: Pertama, para pemimpin ini lahir dari rahim pergerakan rakyat. Mereka tidak lahir dari proses demokrasi liberal yang alami, melainkan merintisnya dari jalur gerakan sosial.

Mereka bukan presiden dan pemimpin yang memperoleh popularitasnya karena bantuan sms, polling atau pun karena pandai menyanyi atau sedikit ganteng. Mereka juga bukan presiden yang lahir dari partai penguasa, juga bukan lahir dari pengusaha penetek kekuasaan, bukan pula intelektual yang rajin mengobral teori atau agamawan yang selalu berbicara ihwal moral. Berbekal ideologi populis dan kerakyatan, dan pengetahuan yang baik tentang cengkeraman kapitalisme di negerinya, para Presiden Radikal ini terlebih dahulu adalah orang-orang yang menggeluti penderitaan rakyat di masa mudanya.

Lula adalah mantan aktivis buruh pabrik, Morales mantan gerilyawan pejuang masyarakat adat, sedangkan Chavez adalah militer berpangkat rendah yang nasionalistik dan dekat dengan aktivis gerakan sosial. Jadi, proses menjadi pemimpin betul-betul ditempa karena pergerakan dan ‘pergaulannya’ dengan rakyat tertindas. Kedua, kemenangan para presiden ini pada dasarnya adalah suatu bentuk perlawanan terhadap kapitalisme neoliberal dan demokrasi liberal.

Di Amerika Latin, menurut James Petras, neoliberalisme pada dasarnya telah mengalami krisis sistemik yang matang dan mendalam. Ia gagal dalam menjawab janji tentang kemakmuran rakyat, malahan kemiskinan dan ketidakadilan yang semakin terasa. Sementara di sisi lain, para politisi dan kaum oligarkh hidup terasing dari rakyat, dan menikmati privilise yang semakin membuat rakyat muak. Sementara di sisi lain, penggusuran terhadap rakyat miskin, dicabutnya subsidi sosial, dan berbagai kebijakan neoliberal semakin membuat kaum miskin hidup dalam kemelaratan absolut. Hal ini semakin parah karena segregasi sosial yang diciptakan oleh kapitalisme neoliberal berada di sepanjang garis ras.

Kemuakan ini mendapatkan saluran politisnya setelah para presiden itu menawarkan suatu visi alternatif yang kongkret atas kapitalisme neoliberal. Dalam beberapa hal, perlawanan terhadap kapitalisme neoliberal ini juga dibahasakan dengan perlawanan terhadap empire Amerika Serikat. Ketiga, kemenangan para presiden radikal ini, merupakan sokongan dari aliansi dan konvergensi dari beberapa gerakan sosial yang cukup beragam. Mereka mencerminkan apa yang disebut sebagai Alan Touraine sebagai gerakan sosial baru, yaitu konvegensi dari gerakan masyarakat sipil seperti organisasi buruh, petani tak bertanah, gerakan masyarakat adat, gerakan lingkungan, gerakan mahasiswa, intelektual kota, gerakan keagamaan hingga partai politik dari beragam garis ideologi. (* Dikutip dari berbagai sumber)


Lensa Peristiwa

Petani Gelar Aksi di Depdagri
14 Maret 2001

TEMPO Interaktif, Jakarta:Sekitar seribuan massa petani yang tergabung dalam Front Pemuda Pemuda Penegak Hak-hak Rakyat (FPPHR) mendayangi Departemen Dalam Negeri di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (14/3). Mereka umumnya petani yang berasal dari Sukabumi dan Bogor, Jawa Barat.

Tuntutan utama para petani tersebut adalah agar tanah-tanah mereka yang selama Orde Baru dikuasai pemerintah segera dikembalikan. Mereka juga mendesak pembubaran Partai Golkar, Menolak hasil Pemilu 1999 dan meminta penurunan harga-harga.

Menurut Juru bicara FPPHR, Abu, lembaganya ini telah dua kali mendatangi Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan beberapa kali mendatangi Departemen Pertanian unutk menyuarakan tuntutan tersebut. Namun, kata dia, hingga saat ini belum ada kepastian dan kesungguhan dari pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus sengketa tanah yang terjadi di Sukabumi dan Bogor.

Aksi yang dimulai pukul 09:00 WIB itu sempat memunculkan ketegangan antara massa dan Satpam Depdagri. Penyebabnya, massa mendesak untuk bisa masuk ke dalam halaman kantor Depdagri, tapi ditolak satpam. Akibatnya, sempat terjadi aksi dorong-dorongan. Namun kejadian itu tidak berlangsung lama, karena massa berhasil menjebol pertahanan satpam dan kemudian masuk ke halaman.

Di halaman Depdagri, massa FPPHR melakukan orasi soal tuntutan mereka, juga menggelar sejumlah spanduk dan puluhan poster yang bertuliskan: “Rebut Tanah Rakyat”, “Kembalikan Hak-hak Rakyat”, dan “Bubarkan Golkar”. (Adi Mawardi)


Petani Minta DPRD Kab Bogor Peduli

Cibinong, Pelita
Petani penggarap di Kecamatan Tamansari meminta DPRD Kabupaten Bogor peduli dan membantu mengalihkan hak kepemilikan lahan garapan mereka seluas 454 hektar di Desa Tamansari, Sukajaya, dan Sukaluyu.
Perwakilan petani penggarap tersebut didampingi lembaga swadaya masyarakat (LSM) Front Pemuda Penegak Hak-hak Rakyat (FPPHR) melakukan audiensi dengan Komisi A DPRD Kabupaten Bogor di Cibinong, Rabu (11/4).
Rombongan yang berjumlah sebanyak 12 orang, diterima oleh Ketua Komisi A, Hidayat Royani.
Juru bicara petani penggarap, Iwan Setiawan mengatakan, lahan garapan petani itu dikuasai PTP XI seluas 300 hektar dengan status kepemilikan hak guna usaha (HGU) serta PT Mustika Prima Chandra seluas 154 hektar dengan status kepemilikan hak guna bangunan (HGB).
Para petani penggarap, menurut dia, meminta agar DPRD Kabupaten Bogor mau membantu mencabut sertifikat HGU dan HGB yang dimiliki kedua lembaga, dan di buat sertifikat HGU atau HGB atas nama petani penggarap.
Menurut Hidayat Royani, pihaknya akan mempelajari persoalan dan aspirasi yang disampaikan para petani penggarap dan FPPHR.
Soal penetapan status hak atas tanah, kata dia, adalah kewenangan badan pertanahan nasional (BPN).
Dijelaskan dia, dalam pengalihan hak atas tanah harus didasarkan atas bukti-bukti yuridis maupun teknis yang jelas, seperti dokumentasi kepemilikan tanah.


KRONOLOGIS RENUNGAN KEMERDEKAAN RI KE-52

www.hamline.edu

Pada 17 Agustus 1997, aktifis pro-demokrasi Bogor yang bernama FPPHR (Front
Pemuda Penegak Hak-hak Rakyat) mengadakan reunungan kemerdekaan dengan
kronologis sebagai berikut:

Jam 09.30
Mulainya acara renungan detik-detik proklamasi di Tugu Kujang Bogor.

Jam 10.30
Selesai dari acara tersebut rombongan berjalan menuju Monumen Kapten Muslihat
Bogor di depan POLWIL BOGOR melewati Jalan Otista, Jalan Juanda, dan Jalan
Kapten Muslihat sekaligus memberikan "bunga simpatik".

Jam 11.00
Rombongan tiba di Monumen Kapten Muslihat, bersamaan dengan sampainya rombongan
tersebut, lewatlah rombongan walikota dan aparat lainnya melintasi Jalan Kapten
Muslihat sepulang upacara 17 Agustus 1997.

Jam 11.10
Pada saat rombongan walikota lewat, rombongan pro-demokrasi disapu bersih oleh
aparat polisi dengan cara paksa sambil melakukan pemukulan secara biadab
terhadap rombongan pro-demokrasi, terutama kepada seorang aktifis perempuan
yang bernama "ADE". Pemukulan ini dilakukan di depan masyarakat ramai.

Adapun nama-nama aktifis yang tertangkap adalah sebagai berikut:

1. DEDI KURNIAWAN
2. EENG SUHENDI
3. AGUS SETIAWAN
4. IRWAN
5. TEDI MULYANA
6. MUCHLIS (SLASH)
7. UCOK NASUTION
8. IMAM ROMANOV
9. ADE
10. ANDREAS
11. ZAENAL
12. HAMZAH

Tertanda,
FPPHR

Lagi, 18 Aktivis Ditangkap

AJInew edisi Kamis, 12 Pebruari 1998

JAKARTA (AJInews) -- Gelombang penangkapan terhadap aktifis pro demokrasi
memang makin tinggi, seiring makin maraknya gerakan menentang pencalonan
kembali Soeharto sebagai presiden Indonesia untuk periode 1998-2003.

Kamis (12/2) dini hari tadi, 18 anggota Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera)
Bogor yang juga anggota Solidaritas Indonesia untuk Amien Rais dan
Megawati (SIAGA), ditangkap di sekretariat Aldera Bogor, di kawasan
Ciheuleut.

Sekitar 15 orang polisi yang sebagian di antaranya tidak berseragam, dini
hari itu tiba-tiba menyerbu masuk, dan tanpa banyak bicara meringkus semua
orang yanga da sdi sekretariat Aldera. Mereka yang ditangkap itu adalah
Abdi, Dedi Kurniawan alias Kodir, Victor Sirait alias Ucok, Adu Rianda
Putra, Herlan Artono, I Made Sutama, Herly, Yaya, Michel, Eeng Suhendi,
Ferry Batubara, Ferry Hamzah, Doni, Robert, Imral Gusti, Mulyadi alais
Kimung , Eko, dan Dedi Rachmat. Ke-18 aktifis itu diangkut dari
sekretariat Aldera Bogor dengan tiga mobil polisi, dan ditahan di Polres
821 Bogor.

Penangkapan ini tampaknya berkaitan dengan penangkapan Sabtu pekan lalu,
ketika empat anggota Aldera Bogor ditangkap karena menyebarkan pidato
Megawati di depan Mesjid Raya Bogor. Dalam penangkapan pertama terhadap 4
aktifis Sabtu itu, polisi juga melakukan pemukulan. Seperti kesaksian
Robert di Komnas HAM, Selasa (11/2) saat mengadukan penangkapan dan
penganiayaan bersama SIAGA, dirinya dipukuli secara brutal dan diborgol di
tengah jalan, tak ubahnya seorang perampok. Keempatnya memang dilepaskan
keesokan harinya. Sialnya, polisi menggrebek sekretariat Aldera Bogor dan
menangkap semua aktifis termasuk Robert yang tengah berkumpul di rumah
kontrrakan itu, dua hari setelah perlakuan mereka diadukan ke Komnas HAM.

Selasa lalu, seorang pemuda di Sukabumi juga ditangkap karena membawa tiga
ratus eksemplar buku pidato Megawati. Ia, kini sudah dibebaskan.

Nasib lebih buruk menimpa Pius Lustrilanang, Sekjen Aldera yang juga
sekretaris SIAGA, yang hilang sejak hari Kamis pekan lalu. Selain Pius,
juga telah hilang seorang aktifis yang juga Direktur LBH Nusantara
Jakarta, Desmond J. Mahesa, sejak Jumat pekan lalu.

Solidaritas Indonesia untuk Amien Rais dan Megawati (SIAGA) telah
melaporkan kasus hilangnya kedua orang itu kepada kepolisian, dan Komnas
HAM. Dalam pengaduan ke Komnas HAM, Selasa itu, koordinator umum SIAGA,
Ratna Sarumpaet, menyatakan bahwa dikuatirkan hilangnya Pius maupun
Desmond adalah karena ditangkap secara tidak sah oleh aparat militer.
Ratna menandaskan, bahwa kekuatiran itu didasarkan pengalaman dua tahun
lalu, ketika Hendrik Sirait, aktifis Aldera dan Pijar Indonesia, hilang
selama lima belas hari, dan ternyata Hendrik diculik sekelompok tentara,
disekap di sebuah markas militer, dan disiksa.

Sementara itu, kasus penangkapan 146 aktifis "Barisan Merah Putih" yang
ditangkap dalam demonstrasi Rabu kemarin, sampai Kamis sore ini masih
belum jelas juntrungannya. Pengacara dari Tim Pembela Demokrasi Indonesia,
sampai Kamis sore barusan, masih belum berhasil membebaskan ke 146 aktifis
itu.

Pihak TPDI menyatakan, berdasarkan KUHAP, para tersangka yang ditangkap di
tempat harus sudah dibebaskan dalam waktu 24 jam. Sesudah itu harus
dilengkapi dengan surat penangkapan. Kenyataannya, ke-146 itu ditangkap
sekitar pukul 15.00 kemarin, dan sampai menjelang Magrib Kamis ini, mereka
belum dibebaskan, sementara Surat Penangkapan tidak kunjung dikeluarkan.

Pihak Polda berusaha agar ke 146 orang itu diadili dengan pasal Tindak
Pidana Ringan, dengan tuduhan melakukan arak-arakan tanpa izin. Tetapi
Pengadilan Negeri Jakarta selatan yang sedianya akan digunakan untuk
mengadili kasus ini, ternyata hari ini jadualnya penuh. Akhirnya Polda
memaksakan agar mereka diadili, di Mapolda Jaya, dengan mendatangkan
seorang hakim. Pihak TPDI menolak upaya itu, karena menurut peraturan,
persidangan hanya bisa dilakukan di Gedung Pengadilan.

Para aktifis Barisan Merah Putih itu ditangkap saat menggelar demonstrasi
menuntut pemeriksaan kekayaan Soeharto. Ratusan aktifis itu mulanya
berdemostrasi di Gedung Kejaksaan Agung, lalu bergerak menuju Gedung
Departemen Tenaga Kerja, menuntut Depnaker untuk mengatasi meluapnya
pengangguran. Di tengah jalan, polisi membubarkan mereka, memukuli, dan
menciduk 146 di antaranya, dan mengangkutnya dengan truk menuju Mapolda
Jaya. ***

ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN
Alliance of Independent Journalists
Jl. PAM Baru Raya 16, Pejompongan,
Jakarta, Indonesia
Tel/Fax : (62-21) 5727018
E-mail : mailto:jurnalis@idola.net.id?Subject=Re:%20%5BINDONESIA-L%5D%20AJI%20-%20DITANGKAP:%2018%20A&In-Reply-To=%3C957823598.0000@hypermail.dummy%3E


INDONESIA:

Arrests of activists in connection with the March 1998 Presidential Election

amnesty international

http://web.amnesty.org/library/Index

NameArrest DetailsCurrent Status
Wimanjaya Liotohe

September 1997
Wimanjaya Liotohe was arrested on 24 September 1997 after announcing his intention to run as a Vice-Presidential candidate in the March 1998 elections and following publication of a pamphlet which was critical of President Suharto. Still detained and currently on trial for insulting the President at the South Jakarta District Court under Articles 134, 136 and 137 of the Criminal Code.
Five members of the Indonesian United Democratic Party, (PUDI) - in Malang, East Java

19 January 1998
Five people - Nurussulah Nawawi, Moh. Faiqh, Riko Fariza Adityatama, Lila Martasari and Dedi Suprapto -were arrested during a joint military and police raid on the PUDI office in Malang on 19 January. They were detained for around 27 hours and released after they refused to sign prepared statements without the presence of lawyers.Three were released without charges. Two - Nurussulah Nawawi and Moh. Faiqh - were charged with holding a gathering without prior permission under Article 510 and required to report to police. Charges appear to have been dropped.
Desmond Mahesa -possibly arrested

3 February
Pro-democracy activist and Director of the Legal Aid Institute Nusantara (Lembaga Bantuan Hukum) in Jakarta, was last seen on 3 February. Eight military intelligence officers are reported to have visited his office the day before he was last seen. Not known if he has been arrested but there are fears for his safety.
Pius Lustrilanang -possibly arrested

4 February
Activist with the People's Democratic Alliance (Aldera). Last seen on 4 February and believed to be in military custody.Not known.
Seven activists in Bogor

7 February
Seven student activists, Herlan Artono, Robert, Feri Hamzah, Wahyu, Abel, Imral and Abdi, from Aldera, were arrested at around 4 pm during a demonstration at a mosque in Bogor where the activists were distributing copies of a speech made by ousted PDI leader Megawati Sukarnoputri. They were taken into police custody and were released on 8 February. One of those arrested, Robert, claims to have been subjected to ill-treatment including being hit, when he was arrested.Four of the activists - Herlan Artono, Abdi, Robert and Wahyu - were released on reporting conditions and facing charges of "expressing hatred" towards the government under Article 154 of the Indonesian Criminal Code. No further action taken by the police but the charges have not been formally dropped.
Six activists in Bandung

9 February
Six activists from Aldera in Bandung held for one day.Believed to have been released without charges within 24 hours.
Activist in Sukabumi - name not known

10 February
Activist arrested on 10 February after being found with 30 copies of a speech by ousted PDI leader, Megawati Sukarnoputri. Released after one day.
146 pro-democracy activists in Jakarta

11 February
One hundred and forty-six people from a pro-democracy group called the Red and White Front (Barisan Merah Putih) were arrested as they staged a protest march in Jakarta. There are allegations of beatings during the arrests. One of the women taken into custody claimed that she was not participating in the demonstration but was selling food at a nearby stall. She was however detained along with her three year old child who was also held in custody. 123 are still in police custody and are now believed to be facing charges under Law Number 5/PNPS/1963 which carries a maximum prison sentence of five years.
17 student activists in Bogor

12 February
Seventeen members of Aldera, Adi, Herlan Artono, Made, Ucok, Ferry Batubara, Feri Hamzah, E'eng, Kodir, Dedi, Michel, Eko, Robert, Robby, Kimung Mulyadi, Herly Moenara, Doni and Imral. (Includes four Aldera members who were previously taken into custody during the arrests in Bogor on 7 February). They were arrested by police just after midnight from their office. They were asked if they had obtained police permission for the meeting the police claimed that they were in the process of holding. The activists argued that it was not a meeting but were nevertheless arrested. No arrest warrants were issued. Items were confiscated from the office by the police without the documentation required under Indonesia's Criminal Procedures Code for this.All released within 24 hours.
Three students from Bandung

13 February
Three student activists - Juandi R, Dianto Bachriadi and Azwar Zulkarnaen - arrested in Bandung, West Java during routine police traffic checks. They were taken into custody when the police found pro-democracy literature in their car. Access to lawyers was granted only after human rights lawyers protested to the police. Dianto Bachriadi and Azwar Zulkarnaen were released without charges. Juandi R is still in custody and facing charges of "expressing hatred" towards the government under Article 154 of the Criminal Code.
Around 50 child labourers and labour activists in Jakarta

13 February
Around 35 child labourers and 15 activists were arrested following a demonstration by a group called the "Global March Against Child Labour" in Jakarta. The activists included Aris Merdeka and Netty.The children were believed to have been released on the afternoon of 14 February and the 15 activists were released later the same night. During interrogation, the 15 activists were threatened with charges under Article 217 of the Criminal Code which punishes those who refuse to move from a public place when ordered to with a maximum prison sentence of three weeks. The charges have not been formally dropped by the police but do not appear to have been pursued.
Five student activists in Garut, West Java

16 February
Five students from the Garut Youth and Students' Forum (Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut) -Mahmud Yunus, Agus Rully Ardiyansyah, Cepi Kunaefi, Tanto Sugianto and Muhamad Iqbal - were arrested at 10.30 pm by police and soldiers from the District Military Command (Kodim) in Garut. They were detained at Kodim until around 2 am on 18 February when they were transferred to police custody. There were reportedly subjected to ill-treatment during interrogation by the military and denied access to lawyers. They were released on 19 February. Items, including computer equipment, were confiscated from their office.Released on condition that they report to police twice a week. Not believed to be facing charges.
Three women demonstrators in Jakarta

23 February
Three women - Dr Karlina Leksono Supeli, Gadis Arivia Effendi and Wilasih Noviana - from a group called Voice of Concerned Mothers (Suara Ibu Peduli) were taken into custody following a demonstration in Jakarta protesting against rising prices.Released on 24 February after one night in police custody. Charged and tried under Article 510 of the Criminal Code. In March, all three were convicted and sentenced to seven days' imprisonment.
22 Demonstrators in Palu

26 February
Arrested following a peaceful demonstration in Palu. All released except for Sukri who remains in police custody. It is not clear on what charges he is being held. It is believed that the police have not issued a Detention Order.
Detektif & Romantika magazine Chief Editor

March
Chief Editor, Margiono, is being questioned under Article 137 of the Criminal Code which punishes insulting the president with a prison term of one year and four months, in connection with a cover illustration of the magazine which depicted President Suharto as a king. Margiono has also been suspended from the official Indonesian Journalists' Association for two years. Not detained but questioned by police on 7 March for 10 and a half hours.
Cipayung activists

8 March
Forty-three students arrested during a peaceful demonstration in Yogyakarta. All released. One student charged under Article 510 and believed to be facing trial on 12 March.
Berar Fathia [f]

9 March
A pro-democracy activist, arrested at the trial of Suara Ibu Peduli (SIP) member Dr Karlina Leksono Supeli, in possession of leaflets proclaiming Berar Fathia's candidacy for the presidential elections.Currently detained in Polda, Metro Jaya and believed to be facing charges under Article 160 of the Criminal Code in conjunction with Law Number 5/PNPS/1963. Article 160 punishes those who incite others to disobey a government order or to break the law with a maximum imprisonment of six years.
Eleven student and labour activists

8 - 10 March
At least eight members of the independent trade union SBSI and three student activists were arrested in different locations. Farah Diba [f], a member of SBSI and three student activists Wandi Nicodemus, Kuldip Singh and Widi Wahyu Widodo were arrested in Jakarta during a demonstration on 8 March.
Yudi Rahmat and Yudi Hermanto were arrested in Jakarta on 9 March on suspicion of holding an illegal meeting and distributing an SBSI protest letter. They were detained first in military custody at the District Military Command in North Jakarta where they are believed to have been subjected to electric shocks. They have now been transferred to police custody. Sanusi was believed to have been arrested in Jakarta on 10 March. Sukirman was arrested in Lampung on 10 March and is currently detained in police custody in Lampung. Three other SBSI members, Seno, Mahmut and Sumanti, were arrested on 10 March in Serang.
All 11 are still be in police custody in Jakarta, Serang, and in Lampung. At least four of the SBSI members have been formally charged under Law Number 5/PNPS/1963 as have the three student activists.
"People's Summit" arrests

10 March
Nine people were arrested during a pro-democracy gathering in North Jakarta. The nine are Ratna Sarumpaet, Coordinator of SIAGA (Solidarity for Amien Rais and Megawati), Ging Ginanjar, journalist, Alexius Suria Tjahaja Tomu, human rights lawyer, Fathom Saulina (Ratna Sarumpaet's daughter), Bonar Tigor Naipospos (Director of Indonesian Humanitarian Association, MIK and a former prisoner of conscience), Wira (human rights activist), Joel Thaher, (artist and activist), Aspar Paturus and Adi Hermawan. Currently being detained in police custody in Jakarta. All nine have now been formally named as suspects and charged under Law Number 5/PNPS/1963, except for Ratna Sarumpaet who has also been charged with Article 154 of the Criminal Code .